Masa Transisi, apakah kedewasaan diukur dari jumlah umur yang dijalani??



Kali ini saya ingin membahas beberapa hal penting yang membawa saya pada peristiwa yang saya rasa merupakan bekal untuk mencapai kedewasaan sebenarnya. Sebelum itu, saya ingin bagikan sudut pandang tentang apa kedewasaan sebenarnya tadi, bagi saya “Kedewasaan” merupakan kondisi yang dialami seseorang dimana dirinya sudah dapat memutuskan segala sesuatu yang memberi keuntungan bagi dirinya dan tidak mengganggu kepentingan orang lain secara konsisten, dapat merespon setiap keadaan yang terjadi dengan atau tanpa intervensi pihak/orang lain dan membuat keadaan tersebut berubah menjadi kebaikan terutama bagi orang lain pula. Peristiwa pertama yang ingin dibagikan yaitu ketika akhirnya harus tinggal satu atap dengan 4 teman yang sebelumnya sudah saya kenal di pertengahan tahun 2015. Di awal-awal kebersamaan kami, rumah yang ditinggali seakan lebih “hidup” dengan intensitas komunikasi yang kami jalani, kerap makan bersama, melakukan kegiatan bersama semacam berenang, futsal, nonton bola , dan lainnya, namun di pertengahan rasanya ada kegelisahan dari kami masing-masing terhadap satu sama lain yang masih tertahan di pikiran, si A membicarakan keburukan si B kepada si C, si C membicarakan keburukan si D kepada si A, dan demikian seterusnya. Hal ini menyadarkan saya bahwa “hidup berdampingan dengan 1 orang lain atau lebih secara terus menerus akan membuka persepsi sangat luas terhadap satu sama lain, dan hal tersebut sangat menyakitkan apabila mengetahui bahwa seseorang yang selama ini dianggap “nyaman-nyaman saja” ternyata karakternya menjengkelkan.” Dari pengalaman tersebut saya mendapat dua point yang saya rasa akan menjadi bekal menuju kedewasaan sebenarnya, yang pertama yaitu penilaian terhadap seseorang akan benar-benar memiliki keakuratan maksimal apabila saya tahu setiap kebiasaan dan tingkah laku sehari-hari seseorang tersebut. Jadi, jika kamu merasa sifat seseorang sangat menjengkelkan dan kamu menyimpulkan bahwa seseorang tersebut sudah tidak layak dianggap sebagai manusia normal maka berpikirlah kembali, apakah kamu sudah mengetahui secara utuh siapa dirinya sampai akar-akarnya, jika belum, maka perluaslah persepsimu, jangan berpikir sempit dalam menilai seseorang. Lalu point kedua ialah bahwa kehidupan berdampingan dengan orang lain sekalipun ‘dia’ adalah orang yang dikagumi itu tidak selamanya menyenangkan seperti cerita asmara yang selalu dibayangkan setiap orang. Disaat mengetahui siapa sebenarnya seseorang yang sebelumnya saya anggap “aman” dan ternyata “tidak sama sekali”, itu sangat menyakitkan. Sehingga setelah sadar akan hal ini, bagi saya yang sedang menjomblo, ini merupakan keuntungan, karena dalam status lajang, setidaknya saya tidak harus pusing untuk menerima ketidak cocokan pasangan yang pasti rasanya mengesalkan.
Beralih ke peristiwa lainnya, yaitu munculnya rutinitas baru yang beragam dan menghabiskan banyak waktu. Saat ini saya sedang menjalani rutinitas sepakbola yang saya mulai sejak akhir bulan Februari, di setiap sore hari Senin, Rabu, Jum’at, dan Sabtu saya bersama dengan satu kawan bersama menuju ke daerah Kedonganan, Kuta untuk berlatih dengan tim sepakbola yang dikelola oleh satu yayasan nonprofit. Saya menganggap ini adalah kesempatan yang luar biasa, tanpa biaya sedikitpun saya dapat leluasa untuk menggunakan fasilitas lapangan sepakbola berkuliatas tinggi yang disediakan, mendapatkan pelatihan teknis, dan juga relasi yang memberi peluang menuju karir professional, saya rasa akan sangat bodoh apabila hal ini dilewatkan, terlebih kegiatan ini berguna untuk mengasah potensi saya di bidang olahraga dan kebugaran, namun ketika saya diperhadapkan dengan perkuliahan yang cukup menuntut waktu dalam menyelesaikan beberapa tugas kelompok dan individu, sepertinya saya gagal dalam mengelola waktu. Ditambah lagi ada rutinitas baru di gereja yang diadakan setiap senin malam yang sangat riskan apabila saya lewatkan, di satu sisi rutinitas baru ini memberi alternative agar waktu yang dimiliki tidak terbuang sia-sia di kamar, namun disisi lain waktu yang dimiliki untuk beristirahat atau meluangkan waktu dengan kerabat seperti biasanya menjadi hilang. Dari kondisi ini, saya mendapat point penting bahwa pembagian persentase prioritas itu sangat penting dalam strategi mencapai target baik dalam target jangka pendek maupun jangka panjang, mungkin saya tidak perlu menjabarkan target-target apa saja yang dimiliki, namun dengan kondisi saat ini yang diisi dengan rutinitas baru, saya akan lebih memprioritaskan perkuliahan, kemudian fokus pada kesehatan dan keterampilan yang ada (sepakbola dan musik), sisanya dikonsentrasikan pada relasi pertemanan dan beberapa usaha sampingan untuk menambah tabungan.
Dari beberapa peristiwa yang baru saja dibahas, saya yakin bahwa hal serupa bisa jadi kerap dialami oleh orang-orang lainnya, namun yang terpenting ialah respon, respon yang dimunculkan menjadi penentu apakah persitiwa tertentu dapat menjadi manfaat yang baik bagi diri sendiri atau tidak. Maka dari itu, apakah kedewasaan sebenarnya diukur dari jumlah umur yang dijalani? Saya rasa, umur memang mempengaruhi, karena dengan umur yang lebih panjang otomatis seseorang berkemungkinan memiliki banyak sekali pengalaman-pengalaman yang beragam dan mempengaruhi kualitas dirinya. Namun, saya lebih condong menganggap bahwa kemampuan dan kepekaan respon seseorang terhadap satu peristiwa penting dalam hidupnya lah yang akan membawa seseorang kepada progres peningkatan kualitas diri dan kedewasaan sebenarnya, seseorang patut untuk sensitive dalam menjalani peristiwa-perisitiwa yang sangat berpengaruh bagi dirinya, dan secara langsung progres-progres yang dimiliki akan membentuk kedewasaan yang sebenarnya. Jadi tak perlu menunggu hingga usia dianggap matang untuk menjadi dewasa, cukup menjadi orang yang “tajam” dalam menyikapi segala hal yang terjadi, haus untuk mengetahui pengalaman-pengalaman yang telah dilewati orang lain, belajar dan banyak berpikirlah untuk mendapat terobosan baru untuk memecahkan suatu masalah, ciptakan prinsip-prinsip dan pola pikir sendiri, maka kamu dapat menjadi orang yang dapat berdiri dalam kondisi apapun.
Pada intinya, andalkanlah Tuhan, hidupi Kehidupan Kristus, maka semuanya akan luar biasa baik.

A b c
C d a
C e a
A c b
E c a
Apaan tuh ya yang di atas??? :D

Apa makna berhubungan "Pacaran"?

Apakah Tuhan mempersoalkan manusia berpacaran? Bagi saya, dipersoalkan atau tidak, Tuhan mau anak-anaknya saling mengasihi setiap orang dengan cara yang Ia kehendaki. Mengenai istilah pacaran yang sudah menjadi istilah asosiatif untuk hubungan manusia dengan manusia yang didasari rasa suka setelah adanya pendekatan-pendekatan yang dilakukan salah satu pihak, sehingga pada akhirnya hubungan itu menjadi lebih intensif dan mengarah pada sesuatu yang lebih legal (pernikahan). Bagi saya, selama suatu hal bisa berdampak baik secara perspektif rohani, cukup bijaksana apabila hal itu dilakukan dengan semangat dan tekad yang tinggi, nah, yang saya kurang pahami dari berpacaran di era saat ini, saya rasa hal itu seakan lebih condong mengarah pada hubungan yang didasari karena keinginan sesaat, gengsi, kebanggaan atas naiknya jati-diri, atau sikap lainnya, itu yang menyebabkan saya kurang menikmati dan tidak berniat lebih untuk menyoroti hubungan berpacaran sebagai sesuatu yang berdampak baik secara sudut pandang rohani, karena beberapa alasan tadi bertolak belakang dengan sikap manusia yang seharusnya rendah hati, dapat menguasai diri, dapat bersyukur atas segala kondisi yang dialami, dan macam-macam lainnya.

Namun, tak patut juga apabila pandangan saya terlalu mengacu pada sisi buruk dalam hal berpacaran, karena nampaknya ada beberapa kasus yang membuktikan bahwa dengan itu, seseorang beserta pasangannya dapat memperoleh karakter manusia yang sesuai dengan kehendak pencipta, antara lain menjadi pribadi yang kooperatif (tidak mengutamakan kepentingan sendiri), toleran (saling menerima kekurangan tanpa memakai pandangan pribadi yang dianggap mutlak), dan sifat /karakter penyayang. Perlu dicermati bahwa istilah penyayang tersebut mengacu pada sikap mengasihi sesama yang ditekankan Tuhan sebagai reperesentasi diriNya yang sudah terlebih dahulu memberikan kasihNya kepada manusia. Tapi, ada kalanya seseorang bersikap berlebihan dalam mengasihi pasangannya, dalam beberapa kasus saya kerap menganalisanya, dan hasilnya sangat dominan dimana pasangan-pasangan dengan tipe seperti ini menunjukkan prioritas kepada nilai-nilai rohani yang sedikit. Apakah ini menandakan bahwa dengan berpacaran berlebihan maka hubungan seseorang dengan Tuhan akan terganggu dan bahkan prioritasnya tergantikan? Selayaknya individu yang sadar bahwa prioritas ketuhanan adalah yang terutama, maka tentunya dapat menentukan mana tindakan yang tepat sesuai dengan kehendak Tuhan, contohnya dalam hal ini, sebaiknya kita bertanya pada Tuhan sebelum menyatakan keputusan dan bertindak, belajar dari pengalaman orang yang lebih dahulu melewati masa tersebut, serta yakin pula dalam menjalani keputusan, bukan malah bersuam-suam kuku layaknya orang yang tidak punya pendirian.

Semakin menengok pada dosa, justru semakin terpaut dengan dosa.

Baru-baru ini saya mendapat pemahaman mengenai sebab seseorang lebih cenderung tidak menyadari asal kedatangan dosa, dan saya rasa pemahaman ini cukup menyenangkan karena seketika setelah mendapat pemahaman ini, kebiasaan buruk saya benar-benar lenyap (sejauh ini). Konsepnya begitu sederhana, dosa bisa ada karena secara sadar kita memikirkan dan berniat untuk melakukannya, namun tidak ada tujuan di dalamnya. Apakah ada kasus dimana sebelum seseorang berniat untuk melakukan dosa, ia mempertimbangkan tujuan dari dosa tersebut? Tidak akan pernah, yang ada hanyalah pertimbangan mengenai bagaimana kelanjutan setelah dosa itu dibuat, lalu apa ganjaran dari dosa itu, dan apa pula pertanggungan atau beban yang didapatkan paska dosa itu akan telah diperbuat. Dalam beberapa kasus yang saya alami, seakan-akan ada anggapan bahwa sesaat sebelum melakukan dosa, saya mampu untuk memikul beban sebagai ganjaran dosa, dan bahkan saya sudah menyiapkan strategi agar saya tidak melakukan dosa itu kembali. Cukup banyak waktu terbuang bagi saya untuk memikirkan cara agar saya dapat menghentikan dosa yang sudah mengikat, layaknya roda yang tetap berputar sesuai poros dan arah perputarannya, saya tetap ada dalam perputaran dosa tersebut. Sangat menjengkelkan. Dalam beberapa bentuk "kelaliman" yang mengikat, seseorang yang sadar akan dampak/upah dosa pasti akan menyatakan bahwa dirinya telah sengaja memutus hubungan dengan Tuhan sementara, itu yang selalu terngiang-ngiang dalam benak saya kapanpun dan dimanapun. Sangat mengganggu setiap kegiatan saya sehari-hari, apakah anda mengalami hal yang sama?

Lantas, apa pemahaman yang baru saya dapatkan sehingga sampai sejauh ini saya merasa hubungan saya dengan dosa yang mengikat tersebut telah terputus sama sekali? Tentu saja putusnya hubungan itu disebabkan karena pertolongan Tuhan, Tuhan menolong saya dengan pemahaman bahwa tidak seharusnya saya menempatkan dosa pada pemikiran, sedikitpun jangan sampai ada. Arahkan segala panca indra jasmani (mata, telinga, penciuman, lidah) pada segala sesuatu yang berkaitan dengan perintah Tuhan, selain itu semua adalah sesuatu yang tidak perlu diterima oleh pikiran. "Cukup seperti itu saja!!!" Melihat pada pengalaman, saya cenderung lebih memikirkan bagaimana dosa itu lenyap, bagaimana dosa itu tidak melekat pada diri lagi, itu sama saja saya senantiasa menaruh dosa dalam pikiran saya padahal seharusnya yang saya harus lebih utamakan adalah menaruh perintah Tuhan dalam pikiran saya, bukan malah dosa.

Ada nats yang ingin saya sampaikan sebagai referensi dalam upaya melengkapi pemahaman yang saya bagikan tadi, yaitu Surat Paulus kepada jemaat di Efesus pasal 6 ayat 11 : "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis."
Surat Paulus kepada jemaat di Kolose pasal 3 ayat 5 sampai 13 : "Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah [atas orang-orang durhaka]. Dahulu kamu juga melakukan hal-hal itu ketika kamu hidup di dalamnya. Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah, dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu. Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru yang terus menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambaran Khaliknya; dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu."

Kembali saya tekankan, bahwa tidak seharusnya menempatkan dosa pada pemikiran, sedikitpun jangan sampai ada. Arahkan segala panca indra jasmani (mata, telinga, penciuman, lidah) pada segala sesuatu yang berkaitan dengan perintah Tuhan, selain itu semua adalah sesuatu yang tidak perlu diterima oleh pikiran. Cukup demikian!


Yang saya tahu tentang kehidupan selama berjalan 19 tahun ini


Kehidupan mengacu pada segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang selama dirinya masih bernafas, maka untuk saya kehidupan sepatutnya dihargai sebagai sesuatu yang berharga, karena tidak seorang pun tau kapan dirinya harus berhenti atas kehidupannya, bukankah begitu? Lantas apakah kehidupan itu menuntut sesuatu? Bagi saya "Iya", kehidupan menuntut pertanggungan jawab bagi siapapun yang memilikinya. Ibaratnya sebuah beban yang dipikul pada bahu untuk diantar ke suatu tempat, begitu juga kehidupan, dilalui dengan tenaga, pikiran dan perasaan kepada suatu tujuan, baik itu kesuksesan, kesehatan, kedamaian , dan berbagai macam lainnya. Nah, sekarang apakah pertanggungan jawab yang baru saja saya katakan telah tuntas dipenuhi? Saya rasa belum, karena hanya pada saat kita berhenti bernafas lah maka dapat diketahui apakah pertanggungan jawab seseorang telah dipenuhi atau tidak.
Kehidupan yang saya alami tidak jauh berbeda dengan yang orang banyak alami. 19 tahun telah saya rasakan hingga saat ini, dan bila saya harus menyimpulkan mengenai apa tanggapan saya terhadap masa 19 tahun yang telah lewat, "cukup menyenangkan" , hanya itu. Setidaknya dengan ucapan tersebut akan muncul pendapat bahwa hidup yang saya alami bisa jadi aman-aman saja atau mungkin malah berkelimpahan dengan banyak berkat dan keberuntungan. Tapi saya mau menegaskan bahwa mungkin bila orang yang "sekularis" akan menggolongkan kehidupan saya sebenarnya ke dalam golongan "cukup semerawut" , bukan "cukup menyenangkan" seperti yang saya simpulkan sebelumnya. Mengapa? 
Ya, kehidupan saya cukup semerawut, 13 tahun saya lewati dengan menempuh jenjang pendidikan taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas dari umur 5-18 tahun, dan saya rasa pengalaman dan pengajaran baik secara independen maupun melalui bantuan orang tua dan guru membantu saya menemukan jati diri saya sebagai seorang Reinhard Leonardo, si Anak "Sok" Rohani yang kerap menceramahi kerabat dengan nasehat-nasehat religi, dengan perawakan yang tegap, segar dan sehat, namun memiliki kelemahan khususnya dalam menjaga relasi khusus dengan lawan jenis. 13 tahun yang penuh dengan kesemerawutan, baik dalam relasi pertemanan, dalam membuat keputusan, dalam pencapain (Prestasi), serta dalam perilaku dan tindakan yang memaksa saya menggelengkan kepala bila sedang mengingatnya. Saya dikenal cukup nakal sejak berada pada jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, beberapa teman saya ketika di SMA kerap menceritakan kedegilan saya kepada teman-teman lain, diantaranya berkelahi saat sedang bermain bola, memukul teman hingga giginya harus tercabut, menyiksa seorang teman di sela pergantian pelajaran dengan motif pemaksaan pelunasan pembayaran hutang, dan beberapa hal lain lagi yang saya kurang bisa terangkan secara jelas. Waw!
Saya tidak memiliki prestasi yang begitu gemilang, sepanjang 19 tahun ini saya sama sekali tidak pernah memiliki piala sebagai suatu penghargaan dalam kompetisi tertentu, adapun medali yang saya miliki, hanya didapat karena melengkapi pernak-pernik kelulusan SMP-SMA. Selebihnya saya sempat berada di urutan ke-4 dari sisi jumlah perolehan nilai rapor kelas 2 SMA, dan tidak ada lagi pencapaian yang bisa dikatakan mengesankan. Hal tersebut bisa jadi terjadi karena lingkungan pertemanan saya yang lumayan semerawut, cukup lama saya berteman dengan orang-orang yang kegiatannya tidak jelas bahkan cenderung merusak moral dan rasanya tidak begitu bagus untuk saya ungkapkan disini.  
.......

Ahok vs DPRD

Kasus korupsi yang diduga terjadi dalam tubuh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta serta konflik antara Basuki Cahaya Purnama dengan beberapa anggota DPRD Jakarta cukup menjadi fenomena yang menarik perhatian publik dengan begitu cepat dan melekat pada rakyat Indonesia, baik yang muda maupun yang tua. Saya melihat beberapa aspek yang sepatutnya tidak terjadi pada kasus tersebut, yaitu aspek komunikasi politik yang ada di pihak Basuki Cahaya Purnama yang terkesan belum mencerminkan sikap arif seorang pemimpin, terlepas dari motif dan latarbelakang cara bicaranya yang keras dan cenderung kurang sopan, seharusnya pemimpin yang “bijak” tau dimana saat yang tepat untuk menanggapi persoalan dengan tenang ataupun dengan cara tegas maupun keras. Namun ketika saya telusuri mengapa pria yang sering disebut “Ahok” ini menggertak salah satu anggota DPRD pada pertemuan resmi terkait mediasi DPRD Jakarta dan Pemprov tanggal 5 Maret 2015 silam, ternyata itu merupakan strategi dalam upaya mendesak salah satu pemimpin daerah yang mengetahui kebohongan yang terjadi di tubuh DPRD Jakarta. Saya cukup terpuaskan, karena persepsi yang saya anggap benar selama ini, ternyata belum tepat, saya perlu mencapai kebenaran dari beberapa sumber informasi yang terpercaya (dalam hal ini saya banyak mengambil sumber informasi dari media cetak Online Kompas.com ) yang meluruskan pandangan dengan bukti-bukti serta informasi lain yang berguna sebagai referensi. 

Akhir-akhir ini, saya kerap berdebat dengan teman seasrama saya mengenai kasus “Ahok vs DPRD”, dirinya cukup mampu memberikan argumentasi dengan jelas kepada saya yang lebih condong memihak pada DPRD dan anti terhadap Ahok, bahkan terkadang ia mengungkapkan pandangannya dengan nada yang tinggi, saya rasa dia tidak ingin pandangannya dicela oleh pendapat saya. Saya melihat bahwa teman saya ini cukup represif dalam mengulas kebobrokan Ahok lantaran dia merasa bahwa dirinya lebih mengetahui seluk beluk peristiwa yang terjadi dan terkait pula pada sikapnya yang skeptis bila kepemimpinan di Indonesia diduduki oleh pemimpinan beragama Nasrani ataupun warga keturunan etnis Cina. Saya cukup menghargai sikap kritisnya dalam mengawasi perkembangan politik di Indonesia, serta keuletannya dalam menganalisa informasi yang diterimanya, bahkan ia mengungkapkan bahwa informasi yang banyak saya dapatkan dari media televisi tidak sepenuhnya benar, dan ia merekomendasikan saya untuk lebih selektif dalam memilih sumber informasi karena terdapat media-media informasi tertentu yang berkedok pencitraan untuk satu pihak tertentu, salah satunya kepada pemerintah, apalagi dia kerap membeberkan contoh media yang dia rasa paling benar dan yang sering menguak konspirasi politik dan kabar-kabar tersembunyi yang secara sengaja dirahasiakan media-media pro-pemerintah. Saya menilai bahwa dia cenderung subjektif dalam meragukan peristiwa-peristiwa politik yang sudah sangat jelas kebenarannya, walau hanya bermodalkan kabar-kabar pendukung yang sangat diragukan dan kurang begitu padat. Saya pun kerap mengingatkan padanya untuk cakap dalam menerima informasi, bukan malah hanya  membaca tulisan media secara setengah-setengah. Walaupun baik untuk kritis, namun bila terlalu kritis dalam menanggapi isu, justru cara itu mendorong tindakan ataupun pandangan yang jauh dari kata rasional dan terkesan subjektif yang pada akhirnya hanya akan memperpanjang keributan akibat berlama-lama berputar dalam berdebat.

Dalam menanggapi tudingan Ahok yang mengungkapkan bahwa adanya tindakan korupsi dan manipulasi data dalam pengusulan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Jakarta, saya berasumsi bahwa Ahok merupakan pihak yang layak didukung sepenuhnya, karena berdasarkan bukti dan informasi lain yang terkait pada isu ini sudah cukup meyakinkan publik bahwa integritas Ahok beserta pihak-pihak di belakangnya pantas diapresiasi. Namun dengan pernyataan saya itu tak lantas membuat saya sepenuhnya memihak pada Lembaga Eksekutif, karena bagaimanapun, isu ini menyangkut pada banyak aspek dan didalamnya banyak sekali permasalahan lain yang kuat relasinya namun belum terbuka dengan jelas. 
Pada dasarnya kejujuran dan ketelatenan dalam mengendalikan situasi dalam wilayah yang dipimpin adalah tugas utama pemimpin, begitu juga dengan yang diemban Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, dalam kepemimpin Ahok, saya rasa cukup menyenangkan ketika melihat reformasi yang dilakukannya pada tubuh Kepemerintahan Provinsi DKI Jakarta dengan tegas memecat setiap PNS yang melanggar setiap tatanan dan aturan yang telah disepakati. Menghadapi situasi politik yang kurang begitu baik, saya rasa inilah saatnya publik lebih meningkatkan fungsi pengawasan sebagai peran utama warga Negara, namun saat seperti ini pun media informasi dan pemerintah sendiri harus membuka pintu lebar-lebar agar warga sebagai pihak yang dilayani mendapatkan informasi yang membantu menguak setiap asas dari sebuah peristiwa yang ada dalam bidang kepemerintahan, dan juga mencegah perpecahan opini di dalam pandangan warga Negara. Selebihnya, bila ada sesuatu yang tak cukup dengan hanya diidentifikasi melalui media agar bisa diperkuak, maka setiap orang yang merasa membutuhkan kejelasan lebih pun perlu mempelajari seluk beluk kepemerintahan secara holistik, baik dari sisi teknis maupun nonteknisnya. Pada akhirnya bila Pemerintah dan pihak media berintegritas terhadap asas tujuan pelayanan publik, maka warga Negara pun akan lebih bijak dalam mengawasi dan menanggapi jalannya pergerakan politik.

KIPS DAILY

APA ITU KIPS DAILY?

KIPS sendiri merupakan akronim dari Kasih Iman Pengharapan Society. Saya menamakan blog ini dengan nama tersebut karena adanya minat saya untuk menghimpun pengguna blog khususnya yang memiliki keinginan meluruskan pandangan-pemahaman fenomena publik berdasarkan hal rohani. Sadarkah kita bahwa masalah-masalah yang tersebar dengan luas melalui media-media sosial secara tidak langsung menjauhkan kita untuk kembali pada hal dasar, hal hakiki, hal Rohani yang semestinya menjadi bagian terutama bagi manusia sebagai wujud kearifan kepada Tuhan Pencipta segala sesuatu yang ADA? Dan pada akhirnya hal Rohani lah yang menjadi acuan sempurna dalam merespon, menanggapi, dan menerima berbagai fenomena yang terjadi bagi setiap orang, bukan malah menggunakan persepsi dan pengertian diri sendiri, seakan-akan rasionalitas manusia di atas segalanya, tanpa menyadari bahwa pemikiran manusia adalah sesuatu yang terbatas, berbeda jauh dengan perspektif Tuhan yang segala sesuatu di dalamNya adalah TIDAK TERBATAS. Disini pun saya membuka kesempatan kepada siapapun dengan berbagai latarbelakang identitas dan idealisme untuk bisa saling bertukar informasi dan berbagi pandangan-tanggapan terhadap masalah-masalah yang terjadi di ranah publik, baik sektor politik, kebijakan pemerintah, ekonomi, pergerakan sosial dan hal-hal lain mengacu pada sesuatu yang bersifat informatif.

Perkenalan

Damai sejahtera bagi semua pembaca, saya Reinhard Leonardo, seorang mahasiswa program studi sastra Inggris tingkat I Universitas Udayana Bali. Disini saya tertarik untuk membagikan hal-hal informatif yang saya harap dapat membuka pemahaman terhadap setiap fenomena yang berkembang, memberi wadah untuk saling berbagi informasi, pendapat, dan saran-solusi, dan menekankan pendekatan ajaran dan nilai-nilai rohani yang dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti Alkitab dan yang lainnya untuk merespon atau menanggapi fenomena publik. Hal ini saya lakukan dilatarbelakangi adanya kegelisahan pada cara respon rakyat Indonesia dengan banyak latar belakang identitas, yang cenderung kurang arif dalam melihat, menanggapi, menyoroti, dan menerima informasi mengenai fenomena yang berkembang pada publik yang terkesan spekulatif-proaktif, namun hampa dalam menjelaskan bagaimana dapat diperolehnya pandangan dan argumen, terlebih yang membuat miris, adalah ketika argumen dan pandangan yang dinyatakan tidak didasari pengetahuan mengenai kebenaran, khususnya kebenaran yang bersumber dari hal-hal rohani. Sesuai dengan itu, saya berniat untuk membagi pandangan, dan juga memberi kesempatan bagi siapapun untuk saling berbagi informasi yang mengacu pada usaha memperoleh pandangan-pandangan rohani yang sangat membantu meluruskan kesemerawutan persepsi yang berdampak buruk bagi situasi sosial negara ini.